Oleh :
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9xGRRhgMFI8-n934Hmg8CoFrXbw3FA02bEQTq1pK2O0oRxa4QlCl1pCz5-ayfpdleIOgTGkVCSlxgVpm1MWQ0rOZdTxzopdHnTwAOvG2zB1_GYQkd68narJi3nstdJGCyeRnugMBFFLHl/s200/6fda3192bbe37874faea8e8b2b9a2ed6_L.jpg)
Pada pilkada serentak tahun 2018, akan
dilaksanakan pemilihan gubernur Provinsi Papua dan pemilihan bupati di tujuh
kabupaten, masing-masing di kabupaten Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Puncak,
Paniai, Deiyai, Mimika, dan Biak-Numfor.
Bagi anak-anak koteka dimanapun mereka berada,
pilkada tahun 2018 bukan hanya sekedar kesempatan untuk memilih pemimpin
daerah, tetapi lebih merupakan ajang pertaruhan harga diri. Bagaimana tidak?
Pertama, pada pilkada provinsi Papua hanya dua
putera koteka yang akan memperebutkan kursi gubernur Papua periode 2018-2023.
Mereka adalah Lukas Enembe dan John Wempi Wetipo. Pertarungan dua anak koteka
ini merupakan suatu peritiwa yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah
provinsi Papua. Orang koteka tentunya merasa bangga dengan peristiwa bersejarah
ini sehingga akan mengikuti pilkada gubernur dengan gembira hati.
Demi penghormatan pada harga dirinya, saya
percaya, anak-anak koteka tidak akan mengganggu, apalagi menghambat,
pelaksanaan pilkada. Mereka akan menolak cara-cara kekerasan dalam
memperjuangkan kemenangan calon gubernurnya. Mereka tidak akan menodai harga
dirinya dengan melakukan tindakan anarkis dan kriminal yang didorong oleh
kegagalan dalam memenangkan calon gubernur yang didukungnya.
Kedua, lima dari tujuh kabupaten yang akan
melaksanakan pilkada bupati 2018 adalah kabupaten yang hampir semua penduduknya
adalah anak-anak koteka. Kelima kabupaten tersebut adalah Jayawijaya, Mamberamo
Tengah, Puncak, Paniai, dan Deiyai. Semua calon bupati adalah anak-anak koteka.
Maka bupati yang akan terpilih, entah siapa pun dia, tentunya adalah anak
koteka. Semua anggota tim sukses dari masing-masing calon bupati adalah
anak-anak koteka. Maka kemenangan dalam pilkada bupati, entah siapa pun dia,
mesti disambut dan dirayakan bersama-sama, dengan gembira oleh semua anak
koteka. Syukuran perlu diadakan dan dihadiri oleh semua anggota tim sukses.
Makan bersama diadakan untuk berekonsiliasi, saling memaafkan, saling menerima
satu sama lain, dan berkomitmen untuk secara bersama menata dan membangun
kabupatennya.
Ketiga, apabila terjadi kekerasan antar
pendukung, maka kekerasan tersebut terjadi antara sesama anak-anak koteka.
Bukan orang lain tetapi anak-anak koteka sendiri yang akan menjadi korbannya.
Pihak manapun tidak memperhitungkan dan menghormati pengorbanan nyawa mereka.
Mereka tidak akan dihormati sebagai pahlawan atau pun martir. Sia-sialah nyawa
mereka.
Dengan melakukan kekerasan, harga dirinya
sebagai anak koteka akan jatuh di depan publik Papua. Maka, demi mempertaruhkan
harga dirnya, saya percaya bahwa, anak-anak koteka dari masing-masing kabupaten
akan melaksanakan pilkada tanpa kekerasan dan pertumpahan darah.
Keempat, orang Koteka sudah belajar dari
pengalaman pilkada sebelumnya seperti konflik kekerasan pada pilkada di
Kabupaten Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Puncak. Konflik pilkada tidak membawa
keuntungan bagi anak-anak koteka, kecuali kematian dan penderitaan. Mereka kini
sudah menyadari bahwa nyawa manusia lebih berharga daripada sebuah pilkada.
Sebab itu saya sungguh percaya bahwa tidak satu pun anak koteka yang akan
dikorbankan lagi oleh sesama anak koteka pada pilkada 2018.
Kelima, semua anak koteka adalah anak adat.
Adatnya mengajarkan bahwa semua masalah diselesaikan secara damai melalui
musyawarah dan negosiasi. Perang merupakan jalan paling akhir apabila mengalami
jalan buntu dan karena itu tidak ditemukan solusi yang diterima semua pihak.
Sebagai anak-anak adat, saya percaya bahwa, mereka akan mendahulukan
penyelesaian masalah secara damai, apabila ada masalah terkait pilkada.
Keenam, karena punya tradisi perang dan ada pengalaman konflik berdarah yang terjadi pada pilkada sebelumnya, maka semua mata kini tertuju kepada kabupaten-kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah anak-anak koteka. Bahkan sejumah pihak merasa kuatir dan cemas bahwa pertumpahan darah akan terjadi ketika pilkada dilaksanakan di kabupaten-Kabupaten tersebut.
Keenam, karena punya tradisi perang dan ada pengalaman konflik berdarah yang terjadi pada pilkada sebelumnya, maka semua mata kini tertuju kepada kabupaten-kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah anak-anak koteka. Bahkan sejumah pihak merasa kuatir dan cemas bahwa pertumpahan darah akan terjadi ketika pilkada dilaksanakan di kabupaten-Kabupaten tersebut.
Meskipun demikian, anak-anak koteka sudah
belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya. Mereka juga sadar akan kemampuan
yang dimilikinya untuk menyelesaikan konflik secara damai. Maka apabila ada
masalah terkait pilkada anakanak koteka akan menyelesaikannya secara damai
melalui dialog dan negosiasi. Mereka akan membuktikan dirinya sebagai pencinta
perdamaian, maka akan melaksanakan pilkada secara damai.
Ketujuh, orang koteka tentu akan menuntut
keadilan ketika martabat kemanusiaannya dilecehkan dalam pilkada dan merasa
diperlakukan secara tidak adil. KPUD dan PANWAS dapat menjadi pemacu perdamaian
atau pemicu konflik berdarah. Bagaimana KPUD dan PANWAS melaksanakan tugasnya
masing-masing turut menentukan muncul-tidaknya konflik kekerasan. Oleh sebab
itu, KPUD dan PANWAS mesti bersikap netral, transparan, adil, dan menjalankan
tugas sesuai dengan Undang-Undang.
Kedelapan,
belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya, kalau ada pihak yang tidak menerima
hasil pilkada, maka masalahnya akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini
sudah dilakukan selama ini sehingga mereka akan melanjutkan hal ini. Sebab itu
mereka tidak akan saling memprovokasi untuk berperang dan saling membunuh antar
sesama anak-anak koteka. Mereka akan membuktikan bahwa masalah pilkada dapat
diselesaikan secara damai dengan menempuh jalur hukum yakni membawa masalah
pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menerima keputusan MK, entah apapun
isinya. (Penulisnya adalah, ketua STF Fajar Timur di Abepura, Koordinator
Jaringan Damai Papua (JDP), Pemenang penghargaan Tji Hak Soon untuk keadilan
dari Seul, Korea Selatan, 2013)
0 thoughts on “Pilkada Papua 2018 : Anak Koteka Mempertaruhkan Harga Dirinya”